Monday 3 January 2011

Agama dan Masyarakat

Fungsi Agama Terhadap Masyarakat

Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Agama, yang menyangkut kepercayaan kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia. Karena itu segera lahir pertanyaan tentang bagaimana seharusnya dari sudut pandang sosiologis. 1

Dalam pandangan sosiologi, perhatian utama terhadap agama adalah pada fungsinya terhadap masyarakat. Istilah fungsi seperti kita ketahui, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus. Dengan demikian perhatian kita adalah peranan yang telah ada dan yang masih dimainkan.2 Emile Durkheim sebagai sosiolog besar telah memberikan gambaran tentang fungsi agama dalam masyarakat. Dia berkesimpulan bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang-lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungsinya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.3

Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.4

Dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat. Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni:

Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah.

Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi barang dan jasa.

Lembaga-lembaga integrative-ekspresif, yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68).

“… Those dealing with the arts, drama, and recreation..This group also includes institutions which deal with ideas, and with the transmission of received values. We may, therefore, include scientific, religius, philosophical, and educational organizations within this category”.

Lembaga-lembaga kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan seksual serta pengarahan terhadap golongan muda.

Walaupun tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat setempat (“community”).5

Perbincangan tentang agama dan masyarakat memang tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya , ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri ini, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi. 6

Kehadiran agama-agama didunia memang mampu memberikan warna-warni terhadap kehidupan dunia. Karena agama secara umum kehadirannya disertai “dua muka” (janus face). Pada satu sisi , secara inherent agama memiliki idensitas yang bersifat “exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”, “universalist”, dan “transcending”. 7 Atau dengan kata lain mempunyai energi konstruktif dan destruktif terhadap umat manusia. Yang dalam perjalanan sejarahnya mampu memberikan kedamaian hidup umat manusia, tetapi juga menimbulkan malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan politisasi suatu agama tertentu oleh para penguasa yang dzolim. Sejarah mencatat “perang salib” atau “perang sabil” antara islam dengan Kristen selama empat abad lamanya dengan kemenangan silih berganti.

Pemeluk agama-agama di dunia meyakini bahwa fungsi utama agama yang dipeluknya itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan bahwa agamanya menyatakan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati.8 Sehingga dalam usahanya untuk membentuk kehidupan yang damai, banyak dari para ahli dan agamawan dari tiap-tiap agama melakukan dialog-dialog untuk memecahkan konflik keagamaan. Pada level dunia mulai muncul pandangan tentang universal religion yaitu suatu agama yang tidak membedakan dari mana asal teologis dan unsur transcendental suatu agama tetapi memandang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan keberlangsungan hidup berdampingan.

Di Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampong halamannya, tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasihi.9

Pertanyaan tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun dan relegius, berubah beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama, jawabanya tidak pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor keagamaan, etnisitas, ekonomi dan politik atau faktor lain, masih menjadi bahan perdebatan panjang. Fungsi agama pun tetap diperdebatkan oleh para ilmuan, apakah agama sebagai pemicu konflik atau agama sebagai faktor integrasi social

Konflik Agama Dalam Msyarakat

Saya kira memang persoalan kerukunan umat beragama merupakan persoalan yang sangat kompleks. Kita bisa lihat dalam beberapa level kemudian baru kita bisa mendapatkan perspektif yang lebih akurat dan objektif. Sebetulnya batas-batas peran agama terhadap kehidupan umat beragama bisa dibenarkan. Level pertama saya kira pada tataran teologis dan doktrin. Pada level teologis dan doktrin ini memang negara tidak campur tangan dan tidak mengatur bagaimana sebuah doktrin agama seharusnya diterjemakan atau dielaborasi. Hemat saya biarkanlah para pemuka agama ataupun fungsionaris agama yang bergerak di dalam bidang ini. Tanpa harus campur tangan dari kekuasaan pemerintah. Pada level doktrin-teologis seperti ini, harus diakui memang di dalam agama-agama tertentu masih ada kerangka teologis dan doktrinal yang mungkin belum terlalu compatible yang bisa mendorong terjadinya konflik. Karena itu dalam hal tertentu diperlukan reinterpretasi, rekontekstualisasi yang mendukung kepada terciptanya kerukunan yang lebih kuat dan lebih dalam lagi. Kalau dalam tingkat teologis tidak dilakukan reinterpretasi, misalnya saja kerangka doktrinal bahwa agama sendiri yang paling benar dan agama orang lain salah semua. Ataupun memandang bahwa setiap orang diluar agamanya sendiri harus menjadi sasaran untuk mendapatkan kebenaran dan diselamatkan. Kerangka doktrinal seperti ini pada gilirannya mendorong terjadinya hal-hal yang akan mengganggu kehidupan beragama. Sementara itu para pemuka, ulama maupun pendeta meninjau atau melihat kembali aspek-aspek tertentu dari teologi dan doktrin agama masing-masing. Kira-kira mana yang mungkin dalam konteks masyarakat yang majemuk, masyarakat yang plural di Indonesia ini mungkin perlu direinterpretasi, direkonteksualisasikan

Pada level kedua menyangkut kehidupan sosial. Kehidupan kemasyarakatan dimana umat beragama adalah warga negara Indonesia. Karena itu perlu diatur dalam konteks hubungan sosialnya. Di Inggris ada UU anti blush remy, jadi dalam kehidupan sosial, dilarang menghina agama orang lain. Seorang warganegara dalam konteks penganut agama berkewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang bisa mengacaukan kehidupan beragama. Tapi kalau sekarang ini, kita lihat minggu lalu konflik di Poso yang kembali meledak, saya kira persoalan konflik yang mengatasnamakan agama. Bahkan agama muncul belakangan. Ada persoalan-persoalan yang lebih kompleks yang mengitari persoalan-persoalan itu yang kemudian bermuara pada konflik menggunakan agama sebagai justifikasi. Persoalannya lebih bermula dari persoalan-persoalan politik, kekuasaan, ekonomi dimana agama dijadikan sebagai titik pemersatu ataupun titik untuk membenarkan kekerasan.

Lantas bagaimanakah kita memposisikan agama dalam konteks kenegaraan? Menurut Marzuki Wahid, setidaknya ada tiga macam pola hubungan agama dan negara. Pertama, pola Paradigma Integralistik (Unified Paradigm). Dalam konteks ini, negara dan agama bersifat integral (menyatu). Karenanya, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan politik sekaligus. Kedua, pola Paradigma Simbiotik. Dalam paradigma ini, agama dan negara berhubungan secara simbiotik, bersifat saling memerlukan. Agama memerlukan negara agar berkembang, sebagaimana negara juga memerlukan agama agar dapat maju dalam bimbingan etika dan moral spiritual. Pola ini juga beranggapan bahwa mendirikan negara agama adalah tugas suci. Ketiga, Paradigma Sekularistik. Pola ini mengajukan adanya pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara Islam. Sekular di sini tidak diartikan negara berhadapan, atau menentang, agama.

Dengan melihat realitas yang ada di Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bangsa dan agama, penulis beranggapan bahwa sekularisasi atau pemisahan antara agama dan negara merupakan suatu pilihan yang sangat tepat. Apalagi kita mempunyai bentuk sekularisme tersendiri, yaitu sekularisme nasionalis atau Pancasila. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Muslim. Keberadaan agama, terutama Islam, sebagai nilai dan asas perjuangan sudah mengakar kuat dalam aspek normatif serta regulasi masyarakat Indonesia. Hal itu bisa dibuktikan dengan ditempatkannya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama. Hal ini membuktikan masih begitu pentingnya peran agama terhadap negara.

Oleh karena itu perlu bagi kita untuk menempatkan agama sesuai denga posisi dan porsinya. Yaitu, menjadikan Islam sebagai asas perjuangan seraya melepaskan baju simbol atau identitas. Dengan pengertian lain, bagaimana mengedepankan Islam sebagai sebuah nilai dan etika, bukan malah menjadikan Islam sebagai instrumen politik yang berimplikasi terhadap pecahnya persatuan dan kesatuan

IPTEK dan Kemiskinan

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DALAM PENDIDIKAN UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT

Menurut Sutrisno Hadi, ilmu pengetahuan adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang-orang yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur.

Sedangkan ilmu itu sendiri (yang berasal dari kata science) adalah rangkaian keterangan tentang sesuatu yang berasal dari pengamatan gejala-gejala alamiah (fenomena) melalui studi dan pengalaman yang disusun dalam sebuah sistem untuk menentukan hakekat dari yang dimaksud. Dari pengertian ini terlihat bahwa rasio lebih dominan.

Menurut pemikiran manusia secara umum, hakekat ilmu adalah hubungan antara subyek terhadap obyek (timbale balik) menurut suatu idea (cita-cita).

Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju dan mengalami perkembangan. Berkaitan dengan dunia pendidikan perkembangan pengetahuan dan teknologi terus berlangsung. Dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dipergunakan untuk kemajuan kehidupan masyarakat.

Kaitan antara pendidikan (sekolah) dengan masyarakat dapat dikaji berdasarkan pendapat-pendapat sebagai berikut:

Menurut Popenoe dalam Ahmadi (2004:182) fungsi pendidikan untuk masyarakat adalah :

1) transmisi kebudayaan masyarakat,

2) menolong individu memilih dan melakukan peranan sosial,

3) menjamin integrasi sosial,

4) sebagai sumber inovasi sosial.

Sedangkan menurut Broom dan Selznick dalam Ahmadi, fungsi pendidikan adalah untuk :

1) transmisi kebudayaan,

2)integrasi sosial,

3) inovasi,

4) seleksi dan alokasi,

5) mengembangkan kepribadian anak.

Dari kedua pendapat ahli tersebut di atas ada unsur-unsur yang hamper sama, dan pendapat dari Broom dan Selznick ada sedikit perbedaan karena menambah unsur yang kelima yaitu mengembangkan kepribadian anak. Berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pendidikan, dari beberapa unsur yang ada, memiliki kaitan erat yaitu menyangkut inovasi (pembaruan). Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pendidikan membawa pembaruan dalam bidang kehidupan masyarakat.

Sebagai contoh pengaruh yang positif, dengan ditemukannnya energy nuklir maka dapat dipakai untuk pembangkit tenaga listrik. Walaupun ada pihak yang kontra yaitu adanya dampak negatif misalnya pembuangan limbah nuklir, seandainya ada kecelakaan pembangkit listrik seperti kasus Kernobil. Contoh yang lain dengan pengembangan energi yang dapat diperbarukan seperti minyak jarak; pengembangan tenaga-tenaga panas bumi, pemanfaatan sinar matahari. Hal tersebut dapat mengurangi ketergantungan manusia terhadap minyak bumi yang saat ini cadangannya semakin berkurang.

Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pendidikan makadapat bermanfaat untuk pembaruan kehidupan masyarakat. dapat bermanfaat untuk pembaruan kehidupan masyarakat.

fungsi kemiskinan

Membahas masalah kemiskinan di Indonesia terasa tak habis habisnya,dalaman setiap tahun angka kemiskinan di Indonesia terus saja bertambah,penyebabnya mulai dari pemberhentian para karyawan karena ketidak setabilan ekonomi Indonesia pada saat ini dan bangkrutnya beberapa usahawan karena semakin banyak saingan dalam perdagangan bebas.

Kemiskinan di seluruh dunia bukan hanya sebagi bagian yang merugikan bagi bangsa itu sendri , kemiskinan juga dapat kita lihat dari kegunaannya yang dapat membuatnya menjadi salah satu tolak ukur agar bangsa dan masyarakat dapat lebih baik lagi dalam menjalankan ini semua.

Kegunaan kemiskinan bagi Negara adalah sebagi suatu indikasi bahwa Negara itu telah menjadi negra yang benar-benar maju, semakin kecil angka kemiskinan di suatu Negara , maka Negara itu patut di akui sebagi Negara yang maju, Negara maju bukan hanya di lihat dari kemajuan teknologi dari Negara itu sendiri melaikan dari bagimana Negara itu mengelola kemiskinan dengan baik sehingga angka kemiskinan dapat dikurangi terus menerus.

Kegunaan kemiskinan bagi masyarakat menurut saya adalah sebagi pengingat kita kepada sang pencipta dan sebagi suatu penentu nilai social yang baik.di zaman seperti ini banyak sekali masyarakat yang telah diberikan kelebihan materi lupa akan sekelilingnya. Dengan adanya kemiskinan mereka yang telah diberiakn kelebihan patutnya melihat dengan hati nurani bahwa di sekelilingnya masi banyak saudara kita yang masi dalam keterpurukan sehingga bagi mereka yang mempunyai kelebihan dapat sedikit memberikan bantuan kepada mereka yang memerlukan. Namaun di zaman ini nampaknya lebih banyak masyarakat yang tidak peduli akan sekelilingnya karena telah di butakan oleh harta yang melimpah.

KEMISKINAN memang menyimpan banyak sekali dampak-dampaknya, mulai dari dampak yang positif hingga dampak yang negative, hal itu tergantung bagi mana masyarakat itu sendiri menilai kemiskinan.Kemiskinan tidak hanya identik dengan kejahatan, kesan itu timbul mungkin dari kita yang seakan kurang peduli akan sekeliling kita.

banyak kalangan yang tidak tahan menderita karenanya mereka berusaha keras agar dapat keluar dari lingkaran penderitaan.rupanya penderitaan yang di alami oleh sebagian saudara-saudara kita itu di lihat oleh beberapa ”jaringan” sebagai lahan empuk untuk memperbesar pengaruhnya.

ketika bekerja sebagai captain di sebuah cafe di bandung ali pernah di tawari oleh ”jaringan” itu dengan iming-iming fulus sebagai kompensasinya ali harus mengikuti dan menghadiri acara yang mereka lakukan.

terus terang ali enggak munafik,siapa sih yang enggak mau fulus,tapi sayangnya ali masih kuat iman sehingga tawaran yang lumayan menggiurkan itu ali tolak dengan halus.dan uniknya jaringan itu tidak kesal dengan ali,mereka masih menjadi tamu di cafe tempat ali bekerja.

masih di cafe yang sama ali juga pernah di beri tip yang lumayan besar,hampir semua karyawan mendapatkannya,tapi ali kurang tahu apakah ini jaringan yang sama yang jelas semua karyawan bahagia pada waktu itu,siapa sih yang enggak seneng di kasih uang.

karena hampir semua karyawan dapet uang ”tip” sang owner jadi nanya kepada ali,siapa tuh tamu tajir banget ? ali cuma bisa gelengkan kepala…mungkin pemilik cafe jadi tersindir he he he karena merasa dirinya pelit he he he.kok pemilik cafe tahu ? karena ketika tamu tajir itu lagi bagi-bagi fulus,dianya kebetulan lagi berada di cafe..

bagi siapa saja yang memang di beri tuhan kelebihan rejeki alangkah eloknya jika anda membagikannya kepada yang lebih berhak tampa adanya iming-iming tertentu.sebagai orang yang masih berjuang untuk dapat hidup lebih layak,ali hanya cemas kepada saudara-saudara kita yang masih hidup serba kekurangan.

di tengah hidup kekurangan semuanya bisa menjadi ”gelap” iman juga bisa jadi gadaikan hanya untuk menyambung hidup.bukankah keyakinan itu tidak bisa di paksakan ? siapa sih di dunia ini yang mau hidup susah ?

ada juga sebagian kita yang kerjanya hanya menyalahkan orang miskin,dengan ungkapan-ungkapan sinis,habis mereka malas sih,ah itukan memang bawaan mereka,mereka itu orang miskin tidak bisa bekerja secara cerdas,coba kalau bisa pasti mereka tidak akan miskin..ah ,kita memang baru bisa mengumpat belum bisa memberikan solusi agar saudara-saudara kita segera keluar dari jeratan kemiskinan.

Pertentangan Sosial dan Integrasi Sosial

Konflik Di Masyarakat Majemuk

Muzaik keanekaragaman suku (etnik) yang menghias persada Nusantara terasa begitu indah dan mempesona di tangan para komponis dan penyair. Mereka menuangkan fenomena itu dalam untai syair lagu dan puisi. Menyadarkan kita betapa besar keajaiban kebhinekaan ibu pertiwi yang membentang beribu-ribu kilometer memeluk bumi. Namun demikian, bagi para pengelola Negara (birokrat) hasrat untuk menghadirkan fenomena indahnya kebhinekaan itu ke dalam realita kehidupan masyarakat bukanlah perkara mudah. Berbagai langkahnya selalu dibayangi oleh kekhawatiran, yang bersumber dari sebuah aksioma manajemen (pemerintahan). Bahwa semakin tinggi tingkat keanekaragaman dan kemajemukan masyarakat dalam sebuah Negara, ekuivalen dengan tingkat kualitas kesulitan yang bakal dihadapi untuk melakukan pengelolaan administrasi Negara secara efektif dan efisien.

Kehadiran bentuk-bentuk masyarakat majemuk dalam sebuah Negara kesatuan – untuk Indonesia terlepas dari peran aspek historisnya – secara relatif terintegrasi dan tumbuh di atas sejauh mana paksaan (dominasi Negara) dan adanya saling ketergantungan dalam bidang ekonomi. Dalam realitas selanjutnya diikuti oleh adanya dominasi suatu kelompok (suku, agama atau kekuatan politik) terhadap kelompok yang lain.


Perbedaan
Secara umum, dari waktu ke waktu konsep masyarakat majemuk berkembang sejalan dengan kondisi obyektif, yakni dinamika kehidupan manusia. Kompleksitas masyarakat majemuk tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan “horizontal” (suku, ras, bahasa, adat-istiadat, agama, dan daerah), tetapi juga perbedaan “vertical”, yakni capaian yang diperoleh melalui achievement (Pelly, 1993). Indikasi perbedaan tersebut Nampak dalam tingkat sosial ekonomi, kedudukan politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi pemukiman.


Perbedaan horizontal diterima sebagai warisan (ascribed) yang diketahui kemudian “bukan” sebagai factor utama dalam setiap insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku. Misalnya suku X, bukan dilahirkan semata-mata untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran (agama dan kepercayaan di Indonesia) yang secara absolut mengajarkan atau menanamkan permusuhan terhadap etnik (sku) dan agama lain.


Sementara itu, dari perbedan-perbedaan vertical, terdapat beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik. Antara lain perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan akses ekonomi lainnya. Selain itu juga benturan kepentingan kekuasaan, politik, dan perluasan batas-batas identitas sosial budaya dalam kelompok etnik (suku) tertentu (Horowitz, 1997). Semakin tinggi kedudukan politik dan peran dominatif suatu kelompok etnik (suku) terhadap kelompok etnik lainnya, akan semakin kuat menimbulkan prasangka yang menjadi sumber ketegangan dan konflik antarkelompok etnik.
Paling tidak itu terbukti dalam kasus “Ambon 1”. Seperti diungkapkan oleh Parsudi Suparlan (199), konflik Ambon 1 muncul karena adanya pergeseran kebudayaan dominan dari Ambon Kristen menjadi kebudayaan islam yang dibawa para pendatang. Menurut Parsudi, dalam waktu sekian tahun, para pendatang Bugis, Buton, dan Makasar mengambil alih berbagai pekerjaan dan jabatan melalui hubungan-hubungan kerabat, kesukubangsaan dan keagamaan. Tempat umum yang semula adalah tempat beroperasinya kebudayaan Ambon yang Kristen, kini menjadi tempat beroperasinya kebudayaan islam yang Bugis, Buton, dan Makasar. Berbagai patokan aturan main di tempat-tempat umum Kota Ambon telah berubah.


Pemecahan Masalah
Jadi, untuk mengatasi masalah konflik sosial dalam masyarakat majemuk (seperti di Indonesia), jangan terpaku hanya pada perbedaan-perbedaan horizontal yang ada. Artinya dalam menghindari atau meminimalisir kemungkinan konflik hanya dengan mengatasi masalah perbedaan aspek-aspek sosial budayanya. Seperti dengan penyatuan kelompok-kelompok sosial yang berbeda, dengan mengangkat pernik-pernik budaya daerah menjadi identitas nasional. Atau dengan doktrin, penataran untuk menanamkan norma-norma bersama yang mengatur tentang tingkag laku bagaimana menjadi warga Negara Indonesia yang baik.


Tapi menaruh perhatian yang lebih pada pemecahan masalah-masalah persaingan dalam memperebutkan sumber daya, alat-alat produksi dan akses ekonomi-poitik. Sebab berdasarkan catatan sejarah, konflik sosial dalam masyarakat Indonesia tidak sedikit akibat persaingan memperebutkan hegemoni. Misalnya antara Sunda (Kerajaan Padjadjaran) dan Jawa (Kerajaan Majapahit) yang pernah terlibat peperangan besar di desa Bubat, atau antara Makasar (Kerajaan Gowa) dengan Bugis (Kerajaan Bone).


Permusuhan atau konflik akibat memperebutkan hegemoni tersebut terjadi pula di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Bahkan konflik juga terjadi dalam satu suku bangsa, seperti dialami orang Jawa, yang terlibat perang saudara selama periode 1680-1743 antara masyarakat pedalaman dengan masyarakat pesisir pantai utara Jawa (Luc Nategal, 1966). Hal serupa terjadi di Maluku, yakni antara kerajaan Ternate dan Tidore. Di awal abad 21 konflik itu kembali mencuat dan mewarnai konflik Ambon II.


Jadi berdasarkan catatan sejarah, sumber konflik sosial antara berbagai etnik (suku) atau golongan di Indonesia bukan didominasi oleh perbedaan horizontal. Tapi yang lebih menonjol justru disebabkan oleh factor perbedaan-perbedaan vertical. Karena interaksi dalam perbedaan vertical antaretnik (suku) dan golongan lebih berdimensi kalah-menang, bermuara pada munculnya kekuatan yang mendominasi dan yang didomimasi. Kemudian terjadi ketidakseimbangan, prasangka, ketegangan, dan konflik. Dan konflik sosial ini menjadi sangat “membara” tatkala disirami dengan “isu agama” oleh elite politik (baca: provokator).

Integrasi Nasional

Masyarakat Eropa (EC) dengan dibukus oleh lebel proses intergrasinya itu,

menepatkan posisi negara anggotanya sebagai pusat integrasi ekonomi dan politik

yang diarahkan menuju cita-cita Uni Eropa (EU). Hal ini memberikan suatu indekasi

kepada kita bahwa jalan pikiran seperti ini memberikan kesan bahwa gerakan dan

mekanisme pengelompokan regionalisme seperti ini dianggap sebagai suatu ambisi

masyarkat Eropa untuk meningkatkan ambisi regionalisme di benua Eropa yakni

dengan usaha untuk menarik usaha kembali sejarah masa silam bahwa pusat

pertumbuhan dan perkembangan Internasiinal berada di Eropa.

Munculnya satu lagi pengelompokan kekuatan ekonomi regional seperti APEC

(Asia Pacific Economic Cooperation) yang di bentuk awalnya di Australia tahun 1989,

merupakan terobosan baru di kawasan Asia Pasifik di samping' EFTA di kawasan

Eropa. Ini juga dilihat sebagai suatu pengelompokan didasarkan atas kerjasama

ekonomi regional dan pada gilirannya akan merebak menjadi suatu kerjasama

ekonomi internasional.

Tentunya perkembangan kehadiran kerjasama bidang ekonomi yang bersifat

regional/internasional akan memberikan dampak terhadap tata hubungan

internasional serta tata hubungan ekonomi global umumnya. Dampak/implikasi di

dalam tatanan hubungan ekonomi yang diartikan adalah jika diterjemahkan bahwa

kehadiran kelompok-kelompok kekuatan ekonomi baik itu dalam tataran regional

maupun yang internasional, misalnya APEC, adalah merupakan puncak diplomasi dan

konflik yang sudah mengarah kepada perang dagang antara blok-blok dagang

terbesar (Amerika), Eropa Bersatu (Uni Eropa).

Jika persoalan ini dilihat ke dalam persfektif yang lebih luas, maka dapatlah

dikatakan ini semacam percaturan bisnis-politik pada level atas yang dilakukan di

atas tataran GATT (putaran Uruguay) yang terancam menemui jalan buntu yang

memang diperlukan suatu manuver-manuver politik, sebagaimana yang ditunjukkan

oleh Bill Clinton dan dengan mana pihak Amerika Serikat membentuk NAFTA yang

mendapat voting dari Kongres 1992, disubstitusikan diselenggarakannya KTT APEC

1993. Ini berarti bahwa Amerika Serikat mau mengultimatumkan Eropa (membuat

tandingan). Hal ini disebabkan Eropa tidak memberikan persetujuan atas GATT

(liberalisasi perdagangan dunia; penghapusan dan penurunan tarif produk

manufakturing) yang sebagian besar terbentur bagi kepentingan Amerika Serikat.

Jika hal ini akan terjadi, dimana tidak akan melahirkan kompromi antara

konglomerat dunia (Amerika Serikat dan Eropa) sebagaimana yang telah disinggung

di atas, maka dunia ini akan terbagi ke dalam blok-blok ekonomi: European Union,

North American' Free Trade Agreement (NAFTA) dan Asia-Pacific Economic

Cooperation (APEC). Dengan APEC, otomatis NAFTA (22,1%) bergabung dengan Asia

Timur EAEC (22,6%) akan menguasai hampir 50% perdagangan global; sedangkan

©2003 Digitized by USU digital library 3

Uni Eropa hanya mampu maksimal mencapai 27% jika hal ini ditambah dengan EFTA

(Swedia, Swiss, Austria, Norwegia dan Finlandia).

Dengan memusatkan perhatian kita pada konsep integrasi sebagaimana

sebagiannya diusahakan diberikan penjelasan dengan cara menganalisis saling

ketergantungan (interpedensi) dalam aspek ekonomi-politik dan ini dikaitankan

dengan kecendrungan dari negara-negara untuk mengelompokan diri kedalam pola

regional. Pola regionalisme didasarkan pada pengelompokan pada kekuatan ekonomi

(perdagangan) dan pada gilirannya akan terbentuk didalam perlembagaan

regionalisme. Kajian ini telah menjadi bagian dari studi politik dan hubungan

internasional. Analisis yang dikembangkan oleh studi hubungan internasional

terutama dalam kajian integrasi regionalisme yakni dengan semakin maraknya

pengelompokan kekuatan berdasarkan aspek ekonomi dan politik menjadikan

semakin bertambahnya pula informasi teori-teori dalam kaitannya dengan fenomena

itu. Analisis dengan merujuk kepada teori ini memperlihatkan bahwa pembuatan

kebijakan (decision making) signifikan dengan "issue area". Dengan munculnya

istilah ini dijadikan sebagai instrumen analisis (analysis tools). Di sini dicoba untuk

memperlihatkan beberapa aspek yang terdapat dalam negara-negara sebagai faktor

yang berpengaruh terhadap bentukan (format) integrasi regional tadi.

Integrasi yang terjadi di kawasan Eropa, dijadikan sebagai suatu "issue area"

berupa "baja dan besi" yang terdapat dalam negara-negara Benelux (Belgia,

Nederland dan Luxembrug). Maka bagi seorang analis yang perlu diperhatikan

adalah "progress in policy integration" yang dihadapkan dengan perbedaan atas

issue-area" tadi. Misalnya dalam suatu negara bahwa isue areanya mungkin sektor

pertanian dan yang mungkin sektor industri atau transportasi. Dari dua sektor inilah

yang dijadikan sebagai "leading sector" bagi kebijakan politik luar negerinya. Negara

yang satu melihat bahwa sektor (X) menjadi kepentingan utama dan bagi negara

yang lain melihat sektor (Y) menjadi kepentingan pokok.

Maka dengan demikian, analisis tentang isuue area tadi bagi studi

regionalisme dalam wacana politik dan hubungan internasional semakin dekat atau

dengan kata lain diajukan konsep "linkage of issue" dijadikan konsepsi untuk

menjelaskan bagaimana integrasi regional berproses menuju integrasi.