Friday 29 January 2010

Mad Life (cerpen)

Mad Life

Nina Audrey adalah seorang gadis kelas 3 SMP yang tinggal dengan kedua orang tuanya yang kaya raya. Ia memiliki kepribadian yang baik dan kemampuan otak yang dapat dibanggakan. Namun Nina lebih memilih bersekolah di sebuah SMP swasta biasa, SEC School, karena ingin menghindar dari kesibukan yang tidak penting.

Kehidupannya begitu sempurna dan damai hingga kedatangan 2 makhluk pengganggu yang mengacaukan hidupnya. Mereka adalah cowok kembar identik yang saking kembarnya seperti pinang dibelah kapak, mereka adalah Pad dan Ted Walters. Mereka tertarik dengan Nina yang pintar dan supel, dan Sandy, sobat Nina yang polos-polos udik. Karena pada dasarnya Nina orangnya welcome dan kebetulan Sandy pengagum berat perdamaian yang membuatnya selalu mengangguk setuju pada semua hal yang dihadapinya. Maka jadilah si kembar yang diragukan apakah memiliki urat malu atau tidak ini menjadi sobat Nina dan Sandy.

Suatu ketika mereka berempat dihadapkan pada sebuah masalah yang benar-benar, sungguh benar-benar, sumpah deh beneran benar-benar gawat!

Secara kebetulan mereka mengetahui kalau ternyata…..Pad itu GAY!

Ok, itu terlalu didramatisir. Sebenarnya yang pertama Pad memang mungkin Gay, dan yang kedua masalah bukan berkutat pada Pad melainkan pada seantero SEC School karena sebentar lagi ujian kelulusan!!!

Seluruh siswa kelas 9 gempar gonjang-ganjing atas kabar tersebut. Selama seminggu penuh mereka belajar mati-matian, tapi biasanya lebih dari setengahnya sibuk menyiapkan contekan ketimbang belajar (termasuk didalamnya si kembar idiot itu).

Saat hari ujian tiba, Nina di kejutkan oleh pemandangan tak biasa di kelasnya. Seluruh murid sedang sibuk membaca semua buku pelajaran sebanyak yang mereka bisa.

Sandy melempar buku matematikanya ke lantai dan mengeluh, “Cukup! sudah nggak kuat lagi…” dan ia merosot dari bangkunya.

Pad dan Ted juga sudah tergeletak di meja masing-masing, terkubur oleh buku-buku tebal mereka.

Hanya Nina yang terlihat cukup santai. Setidaknya sampai saat ini.

“Huh, anak teladan memang beda, ya..” ujar Sandy pada Nina. “Nilaimu selalu bagus. Aku sih nyerah soal nilai. Wali kelas saja sampai nangis-nangis segala! Dia bilang, ‘Tolong rendahkan cita-citamu!’.”

Ted sekarang sudah sadar dari pose ‘keracunan buku sejarah’-nya. Dia bilang, “Itu masih mending. Sejak TK kami selalu dapat nilai pas2an, bahkan sering dibawah nilai standar. Tapi kami tetap saja masih bisa lulus.”

“Aku nggak heran kenapa mereka meluluskan kalian. Sungguh.” Kata Nina

Ted cuma nyengir kuda.

Beberapa saat kemudian ujian pun dimulai.

Ketegangan melanda seluruh murid kelas 9.

Hening… hening… hening… hening. Kemudian menjadi pening.

20 menit pertama, murid- masih serius membaca soal.

30 menit berlalu, murid-murid sudah mulai keringat dingin.

30 menit lewat 1 menit, sebagian anak dilarikan ke UKS akibat stress yang berlebih. Sisanya kejang-kejang di dalam kelas.

Namun Nina, Sandy, Pad dan Ted masih tetap bertahan di tempatnya masing-masing meski sebenarnya Pad dan Ted sudah ngadat sejak 5 menit setelah ujian di mulai.

Pad sedang serius membaca soal nomor 19 setelah melompati 18 nomor sebelumnya. Sementara itu Ted sedang sibuk menuliskan nama-nama orang yang dikenalnya dilembar jawabannya. Meski kebanyakan namanya sendiri.

Bagaimana dengan Sandy? Alih-alih berkonsentrasi Sandy justru terlihat seperti orang yang tidak bisa buang angin selama hidupnya. Mukanya merah dan berkeringat berusaha keras menahan diri untuk tidak menjadi salah satu korban di UKS.

30 menit kemudian ujian pun berakhir dengan sorak sorai kemenangan murid-murid yang bahagia karena penjajahan telah berakhir.

“Masa bodo deh hasilnya yang penting sudah lewat!” seru Ted riang.

“Sekarang kita tinggal menunggu acara School Party!!!” sorak anak-anak kelas 9.

Seminggu penuh anak-anak kelas 9 sedang sibuk merencanakan tema apa yang akan mereka buat untuk acara School Party, kemudian Nina mengusulkan Halloween yang langsung disetujui oleh kelas.

“Halloween apa sih?” Tanya Sandy, tidak jelas ditujukan pada siapa tapi Pad yang menjawabnya,

“itu loh jenis narkoba yang terbuat dari penyaringan morphin.”

“itu sih heroin!” sanggah Nina. “Halloween itu festival akhir bulan oktober yang bertemakan horror.”

“jadi kita mau buat apa nih di acara Halloween?” seru Ketua OSIS SEC School, Davis Nicoll.

Anak-anak langsung ramai menyerukan ide mereka masing-masing.

“Rumah hantu!”

“Garing..”

“Museum hantu!”

“Sama aja, bego.”

“Rumah Davis aja.” seru Pad tiba-tiba ditengah keramaian.

kan mirip rumah hantu.” Ujar Ted menambahkan.

Davis kembali melanjutkan musyawarahnya setelah sebelumnya ngegampar si kembar bolak-balik.

“Aku tahu! Rumah bordil saja.” Kata Davis.

“Nah, itu baru oke!” cowok-cowok pada bersorak sorai.

Semenit kemudian kumpulan cowok idiot itu sudah terikat rantai dipojok kelas. Dan diskusi pun diambil alih oleh para cewek.

“Jadi sudah diputuskan kelas kita akan mengadakan kontes fashion show ala Halloween! Dimana para penontonnya adalah seluruh warga SEC School. Mereka akan menilai siapa yang pantas jadi juara dan mendapatkan gelar Master Halloween.”

Beberapa hari kedepan murid-murid kelas 9 sibuk bekerja mereparasi sekolah menjadi nuansa halloween. Setelah seminggu menempuh cobaan berat, menerjang panas terik matahari, melawan derasnya hujan badai, menerobos lebatnya hutan dan semak belukar (ini ngapain sih sebenarnya?), anak-anak kelas 9-1 tergeletak tak berdaya di dalam kelas. Sang ketua OSIS berusaha membuat tabah serdadu-serdadunya. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Pad dan ngegampar pipinya bolak-balik, sambil menangis ia berkata, “Kita semua harus kuat!”

Oke, adegan diatas tidak benar-benar terjadi, kecuali adegan ketika Davis ngegampar Pad yang tepar karena dehidrasi dan bilang “Apaan sih lo ekstrim banget! Bangun buruan!”.

Malam tanggal 30 oktober yang telah dinanti-nantikan akhirnya datang juga. Seluruh murid sibuk memakai kostumnya masing-masing.

“Wow kita kembar!” ujar Pad yang memakai kostum lonjong berwarna ungu. Ia menatap kembarannya yang berbalut kostum sama tapi berwarna kuning.

“Kalian kan memang kembar.” Ucap Sandy yang muncul dari belakang.

“Entahlah, aku rasa aku masih lebih keren.” Kata Ted. “kau jadi gembel?” tanyanya menatap heran kostum Sandy yang penuh tambalan sana-sini.

“Aku boneka perca! Dan kalian….jadi sayuran?” Sandy menyipitkan mata menghalau warna silau ungu-kuning si kembar.

“Kami telletubies.” Sahut Ted bangga.

Saat itu juga Sandy kembali mempertanyakan alasan persahabatannya dengan si kembar. Dari sekian banyak karakter yang bisa ditiru kenapa juga mereka harus jadi teletuby?

“Hei, kalian ngapain sih?!” Nina bertanya pada ketiganya di ujung sana. “acaranya sudah mau mulai.”

Ketiganya segera menghampiri Nina. Nina langsung memberikan instruksi pada mereka.

“Pad, kau masuk panggung duluan,” ia menunjuk kepada si teletuby kuning. “baru disusul oleh─”

“Aku Ted! Apa kau tak bisa membedakan kami sekarang?”

“Uh, maaf…. Ted.” Bisik Nina.

“Aku cuma bercanda. Aku memang Pad kok.”

“Cukup main-mainnya!” seru Nina tak sabar. “kau─” ia menunjuk kepada teletuby ungu. “─Ted atau Pad atau terong atau apalah, keluar setelah si kuning ini!” ia menunjuk kearah teletuby kuning dengan kalap. Tampaknya ia bingung membedakan mana orang dan mana yang bukan. Karena Nina baru saja mengajak ngobrol salah seorang berkostum raksasa, namun ternyata yang ia ajak bicara adalah patung selamat datang.

Pad berdiri disebelah Nina yang sedang sibuk melihat note-notenya. “kostum mu─umm unik sekali, kau jadi makhluk mars, ya?” tanya Pad, berusaha memuji.

Nina mendongak menatap wajah Pad dengan bingung, “Pad, aku tidak pakai kostum… aku panitia. Ini baju keseharianku.” Dan ia membuang muka menatap note-notenya kembali.

Dibelakang, Ted dan Sandy sedang cekikikan melihat kebodohan Pad.

Yeah, bagus sekali, makhluk mars. Kenapa aku tidak terbang saja ke mars, idiot! Pikir Pad getir.

Gelar Master Halloween didapatkan oleh murid kelas 9-1, Rave, cowok jangkung bermuka pucat yang lebih sering terlihat tidurnya daripada bangunnya.

“Aku nggak percaya dia yang menang!” Seru Ted tak percaya.

“Yeah, sulit dipercaya memang. Padahal dia hanya pakai kostum hitam-hitam dan lenggak-lenggok kesana-kesini.” Kata Davis. “Tadi dia jadi apa katanya? Malam yang ditolak bulan? Yang benar saja.”

“Dia jadi malam yang ditolak badai, Davis…” ujar Nina membenarkan.

“Dia lebih pantas disebut malam datang bulan, lentur kesana kemari kayak Sandy lagi PMS.” Timbrung Ted

“Kalian bisa saja menang,” ucap Sandy setelah sebelumnya ngegampar Ted bolak-balik, “kalau saja kalian nggak saling dorong dipanggung dan terjengkang bareng-bareng ke meja juri, membuat kepala sekolah dilarikan ke RS gara-gara kaget ngeliat kucing kesayangannya mati kegencet meja didepan matanya sendiri.”

Saat itu Nina terhanyut dalam pikirannya sendiri. Gimana jadinya nasib cewek yang bakal jadi pacar kembar yang tak sedap dipandang ini? Pikir Nina, ia tak sadar bahwa dirinya sudah terjerat takdir bersama kembar pembawa onar tersebut.