Monday 3 January 2011

Agama dan Masyarakat

Fungsi Agama Terhadap Masyarakat

Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Agama, yang menyangkut kepercayaan kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia. Karena itu segera lahir pertanyaan tentang bagaimana seharusnya dari sudut pandang sosiologis. 1

Dalam pandangan sosiologi, perhatian utama terhadap agama adalah pada fungsinya terhadap masyarakat. Istilah fungsi seperti kita ketahui, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus. Dengan demikian perhatian kita adalah peranan yang telah ada dan yang masih dimainkan.2 Emile Durkheim sebagai sosiolog besar telah memberikan gambaran tentang fungsi agama dalam masyarakat. Dia berkesimpulan bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang-lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungsinya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.3

Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.4

Dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat. Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni:

Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah.

Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi barang dan jasa.

Lembaga-lembaga integrative-ekspresif, yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68).

“… Those dealing with the arts, drama, and recreation..This group also includes institutions which deal with ideas, and with the transmission of received values. We may, therefore, include scientific, religius, philosophical, and educational organizations within this category”.

Lembaga-lembaga kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan seksual serta pengarahan terhadap golongan muda.

Walaupun tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat setempat (“community”).5

Perbincangan tentang agama dan masyarakat memang tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya , ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri ini, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi. 6

Kehadiran agama-agama didunia memang mampu memberikan warna-warni terhadap kehidupan dunia. Karena agama secara umum kehadirannya disertai “dua muka” (janus face). Pada satu sisi , secara inherent agama memiliki idensitas yang bersifat “exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”, “universalist”, dan “transcending”. 7 Atau dengan kata lain mempunyai energi konstruktif dan destruktif terhadap umat manusia. Yang dalam perjalanan sejarahnya mampu memberikan kedamaian hidup umat manusia, tetapi juga menimbulkan malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan politisasi suatu agama tertentu oleh para penguasa yang dzolim. Sejarah mencatat “perang salib” atau “perang sabil” antara islam dengan Kristen selama empat abad lamanya dengan kemenangan silih berganti.

Pemeluk agama-agama di dunia meyakini bahwa fungsi utama agama yang dipeluknya itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan bahwa agamanya menyatakan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati.8 Sehingga dalam usahanya untuk membentuk kehidupan yang damai, banyak dari para ahli dan agamawan dari tiap-tiap agama melakukan dialog-dialog untuk memecahkan konflik keagamaan. Pada level dunia mulai muncul pandangan tentang universal religion yaitu suatu agama yang tidak membedakan dari mana asal teologis dan unsur transcendental suatu agama tetapi memandang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan keberlangsungan hidup berdampingan.

Di Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampong halamannya, tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasihi.9

Pertanyaan tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun dan relegius, berubah beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama, jawabanya tidak pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor keagamaan, etnisitas, ekonomi dan politik atau faktor lain, masih menjadi bahan perdebatan panjang. Fungsi agama pun tetap diperdebatkan oleh para ilmuan, apakah agama sebagai pemicu konflik atau agama sebagai faktor integrasi social

Konflik Agama Dalam Msyarakat

Saya kira memang persoalan kerukunan umat beragama merupakan persoalan yang sangat kompleks. Kita bisa lihat dalam beberapa level kemudian baru kita bisa mendapatkan perspektif yang lebih akurat dan objektif. Sebetulnya batas-batas peran agama terhadap kehidupan umat beragama bisa dibenarkan. Level pertama saya kira pada tataran teologis dan doktrin. Pada level teologis dan doktrin ini memang negara tidak campur tangan dan tidak mengatur bagaimana sebuah doktrin agama seharusnya diterjemakan atau dielaborasi. Hemat saya biarkanlah para pemuka agama ataupun fungsionaris agama yang bergerak di dalam bidang ini. Tanpa harus campur tangan dari kekuasaan pemerintah. Pada level doktrin-teologis seperti ini, harus diakui memang di dalam agama-agama tertentu masih ada kerangka teologis dan doktrinal yang mungkin belum terlalu compatible yang bisa mendorong terjadinya konflik. Karena itu dalam hal tertentu diperlukan reinterpretasi, rekontekstualisasi yang mendukung kepada terciptanya kerukunan yang lebih kuat dan lebih dalam lagi. Kalau dalam tingkat teologis tidak dilakukan reinterpretasi, misalnya saja kerangka doktrinal bahwa agama sendiri yang paling benar dan agama orang lain salah semua. Ataupun memandang bahwa setiap orang diluar agamanya sendiri harus menjadi sasaran untuk mendapatkan kebenaran dan diselamatkan. Kerangka doktrinal seperti ini pada gilirannya mendorong terjadinya hal-hal yang akan mengganggu kehidupan beragama. Sementara itu para pemuka, ulama maupun pendeta meninjau atau melihat kembali aspek-aspek tertentu dari teologi dan doktrin agama masing-masing. Kira-kira mana yang mungkin dalam konteks masyarakat yang majemuk, masyarakat yang plural di Indonesia ini mungkin perlu direinterpretasi, direkonteksualisasikan

Pada level kedua menyangkut kehidupan sosial. Kehidupan kemasyarakatan dimana umat beragama adalah warga negara Indonesia. Karena itu perlu diatur dalam konteks hubungan sosialnya. Di Inggris ada UU anti blush remy, jadi dalam kehidupan sosial, dilarang menghina agama orang lain. Seorang warganegara dalam konteks penganut agama berkewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang bisa mengacaukan kehidupan beragama. Tapi kalau sekarang ini, kita lihat minggu lalu konflik di Poso yang kembali meledak, saya kira persoalan konflik yang mengatasnamakan agama. Bahkan agama muncul belakangan. Ada persoalan-persoalan yang lebih kompleks yang mengitari persoalan-persoalan itu yang kemudian bermuara pada konflik menggunakan agama sebagai justifikasi. Persoalannya lebih bermula dari persoalan-persoalan politik, kekuasaan, ekonomi dimana agama dijadikan sebagai titik pemersatu ataupun titik untuk membenarkan kekerasan.

Lantas bagaimanakah kita memposisikan agama dalam konteks kenegaraan? Menurut Marzuki Wahid, setidaknya ada tiga macam pola hubungan agama dan negara. Pertama, pola Paradigma Integralistik (Unified Paradigm). Dalam konteks ini, negara dan agama bersifat integral (menyatu). Karenanya, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan politik sekaligus. Kedua, pola Paradigma Simbiotik. Dalam paradigma ini, agama dan negara berhubungan secara simbiotik, bersifat saling memerlukan. Agama memerlukan negara agar berkembang, sebagaimana negara juga memerlukan agama agar dapat maju dalam bimbingan etika dan moral spiritual. Pola ini juga beranggapan bahwa mendirikan negara agama adalah tugas suci. Ketiga, Paradigma Sekularistik. Pola ini mengajukan adanya pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara Islam. Sekular di sini tidak diartikan negara berhadapan, atau menentang, agama.

Dengan melihat realitas yang ada di Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bangsa dan agama, penulis beranggapan bahwa sekularisasi atau pemisahan antara agama dan negara merupakan suatu pilihan yang sangat tepat. Apalagi kita mempunyai bentuk sekularisme tersendiri, yaitu sekularisme nasionalis atau Pancasila. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Muslim. Keberadaan agama, terutama Islam, sebagai nilai dan asas perjuangan sudah mengakar kuat dalam aspek normatif serta regulasi masyarakat Indonesia. Hal itu bisa dibuktikan dengan ditempatkannya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama. Hal ini membuktikan masih begitu pentingnya peran agama terhadap negara.

Oleh karena itu perlu bagi kita untuk menempatkan agama sesuai denga posisi dan porsinya. Yaitu, menjadikan Islam sebagai asas perjuangan seraya melepaskan baju simbol atau identitas. Dengan pengertian lain, bagaimana mengedepankan Islam sebagai sebuah nilai dan etika, bukan malah menjadikan Islam sebagai instrumen politik yang berimplikasi terhadap pecahnya persatuan dan kesatuan

No comments:

Post a Comment