Konflik Di Masyarakat Majemuk
Muzaik keanekaragaman suku (etnik) yang menghias persada Nusantara terasa begitu indah dan mempesona di tangan para komponis dan penyair. Mereka menuangkan fenomena itu dalam untai syair lagu dan puisi. Menyadarkan kita betapa besar keajaiban kebhinekaan ibu pertiwi yang membentang beribu-ribu kilometer memeluk bumi. Namun demikian, bagi para pengelola Negara (birokrat) hasrat untuk menghadirkan fenomena indahnya kebhinekaan itu ke dalam realita kehidupan masyarakat bukanlah perkara mudah. Berbagai langkahnya selalu dibayangi oleh kekhawatiran, yang bersumber dari sebuah aksioma manajemen (pemerintahan). Bahwa semakin tinggi tingkat keanekaragaman dan kemajemukan masyarakat dalam sebuah Negara, ekuivalen dengan tingkat kualitas kesulitan yang bakal dihadapi untuk melakukan pengelolaan administrasi Negara secara efektif dan efisien.
Kehadiran bentuk-bentuk masyarakat majemuk dalam sebuah Negara kesatuan – untuk Indonesia terlepas dari peran aspek historisnya – secara relatif terintegrasi dan tumbuh di atas sejauh mana paksaan (dominasi Negara) dan adanya saling ketergantungan dalam bidang ekonomi. Dalam realitas selanjutnya diikuti oleh adanya dominasi suatu kelompok (suku, agama atau kekuatan politik) terhadap kelompok yang lain.
Perbedaan
Secara umum, dari waktu ke waktu konsep masyarakat majemuk berkembang sejalan dengan kondisi obyektif, yakni dinamika kehidupan manusia. Kompleksitas masyarakat majemuk tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan “horizontal” (suku, ras, bahasa, adat-istiadat, agama, dan daerah), tetapi juga perbedaan “vertical”, yakni capaian yang diperoleh melalui achievement (Pelly, 1993). Indikasi perbedaan tersebut Nampak dalam tingkat sosial ekonomi, kedudukan politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi pemukiman.
Perbedaan horizontal diterima sebagai warisan (ascribed) yang diketahui kemudian “bukan” sebagai factor utama dalam setiap insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku. Misalnya suku X, bukan dilahirkan semata-mata untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran (agama dan kepercayaan di Indonesia) yang secara absolut mengajarkan atau menanamkan permusuhan terhadap etnik (sku) dan agama lain.
Sementara itu, dari perbedan-perbedaan vertical, terdapat beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik. Antara lain perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan akses ekonomi lainnya. Selain itu juga benturan kepentingan kekuasaan, politik, dan perluasan batas-batas identitas sosial budaya dalam kelompok etnik (suku) tertentu (Horowitz, 1997). Semakin tinggi kedudukan politik dan peran dominatif suatu kelompok etnik (suku) terhadap kelompok etnik lainnya, akan semakin kuat menimbulkan prasangka yang menjadi sumber ketegangan dan konflik antarkelompok etnik.
Paling tidak itu terbukti dalam kasus “Ambon 1”. Seperti diungkapkan oleh Parsudi Suparlan (199), konflik Ambon 1 muncul karena adanya pergeseran kebudayaan dominan dari Ambon Kristen menjadi kebudayaan islam yang dibawa para pendatang. Menurut Parsudi, dalam waktu sekian tahun, para pendatang Bugis, Buton, dan Makasar mengambil alih berbagai pekerjaan dan jabatan melalui hubungan-hubungan kerabat, kesukubangsaan dan keagamaan. Tempat umum yang semula adalah tempat beroperasinya kebudayaan Ambon yang Kristen, kini menjadi tempat beroperasinya kebudayaan islam yang Bugis, Buton, dan Makasar. Berbagai patokan aturan main di tempat-tempat umum Kota Ambon telah berubah.
Pemecahan Masalah
Jadi, untuk mengatasi masalah konflik sosial dalam masyarakat majemuk (seperti di Indonesia), jangan terpaku hanya pada perbedaan-perbedaan horizontal yang ada. Artinya dalam menghindari atau meminimalisir kemungkinan konflik hanya dengan mengatasi masalah perbedaan aspek-aspek sosial budayanya. Seperti dengan penyatuan kelompok-kelompok sosial yang berbeda, dengan mengangkat pernik-pernik budaya daerah menjadi identitas nasional. Atau dengan doktrin, penataran untuk menanamkan norma-norma bersama yang mengatur tentang tingkag laku bagaimana menjadi warga Negara Indonesia yang baik.
Tapi menaruh perhatian yang lebih pada pemecahan masalah-masalah persaingan dalam memperebutkan sumber daya, alat-alat produksi dan akses ekonomi-poitik. Sebab berdasarkan catatan sejarah, konflik sosial dalam masyarakat Indonesia tidak sedikit akibat persaingan memperebutkan hegemoni. Misalnya antara Sunda (Kerajaan Padjadjaran) dan Jawa (Kerajaan Majapahit) yang pernah terlibat peperangan besar di desa Bubat, atau antara Makasar (Kerajaan Gowa) dengan Bugis (Kerajaan Bone).
Permusuhan atau konflik akibat memperebutkan hegemoni tersebut terjadi pula di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Bahkan konflik juga terjadi dalam satu suku bangsa, seperti dialami orang Jawa, yang terlibat perang saudara selama periode 1680-1743 antara masyarakat pedalaman dengan masyarakat pesisir pantai utara Jawa (Luc Nategal, 1966). Hal serupa terjadi di Maluku, yakni antara kerajaan Ternate dan Tidore. Di awal abad 21 konflik itu kembali mencuat dan mewarnai konflik Ambon II.
Jadi berdasarkan catatan sejarah, sumber konflik sosial antara berbagai etnik (suku) atau golongan di Indonesia bukan didominasi oleh perbedaan horizontal. Tapi yang lebih menonjol justru disebabkan oleh factor perbedaan-perbedaan vertical. Karena interaksi dalam perbedaan vertical antaretnik (suku) dan golongan lebih berdimensi kalah-menang, bermuara pada munculnya kekuatan yang mendominasi dan yang didomimasi. Kemudian terjadi ketidakseimbangan, prasangka, ketegangan, dan konflik. Dan konflik sosial ini menjadi sangat “membara” tatkala disirami dengan “isu agama” oleh elite politik (baca: provokator).
Integrasi Nasional
Masyarakat Eropa (EC) dengan dibukus oleh lebel proses intergrasinya itu,
menepatkan posisi negara anggotanya sebagai pusat integrasi ekonomi dan politik
yang diarahkan menuju cita-cita Uni Eropa (EU). Hal ini memberikan suatu indekasi
kepada kita bahwa jalan pikiran seperti ini memberikan kesan bahwa gerakan dan
mekanisme pengelompokan regionalisme seperti ini dianggap sebagai suatu ambisi
masyarkat Eropa untuk meningkatkan ambisi regionalisme di benua Eropa yakni
dengan usaha untuk menarik usaha kembali sejarah masa silam bahwa pusat
pertumbuhan dan perkembangan Internasiinal berada di Eropa.
Munculnya satu lagi pengelompokan kekuatan ekonomi regional seperti APEC
(Asia Pacific Economic Cooperation) yang di bentuk awalnya di Australia tahun 1989,
merupakan terobosan baru di kawasan Asia Pasifik di samping' EFTA di kawasan
Eropa. Ini juga dilihat sebagai suatu pengelompokan didasarkan atas kerjasama
ekonomi regional dan pada gilirannya akan merebak menjadi suatu kerjasama
ekonomi internasional.
Tentunya perkembangan kehadiran kerjasama bidang ekonomi yang bersifat
regional/internasional akan memberikan dampak terhadap tata hubungan
internasional serta tata hubungan ekonomi global umumnya. Dampak/implikasi di
dalam tatanan hubungan ekonomi yang diartikan adalah jika diterjemahkan bahwa
kehadiran kelompok-kelompok kekuatan ekonomi baik itu dalam tataran regional
maupun yang internasional, misalnya APEC, adalah merupakan puncak diplomasi dan
konflik yang sudah mengarah kepada perang dagang antara blok-blok dagang
terbesar (Amerika), Eropa Bersatu (Uni Eropa).
Jika persoalan ini dilihat ke dalam persfektif yang lebih luas, maka dapatlah
dikatakan ini semacam percaturan bisnis-politik pada level atas yang dilakukan di
atas tataran GATT (putaran Uruguay) yang terancam menemui jalan buntu yang
memang diperlukan suatu manuver-manuver politik, sebagaimana yang ditunjukkan
oleh Bill Clinton dan dengan mana pihak Amerika Serikat membentuk NAFTA yang
mendapat voting dari Kongres 1992, disubstitusikan diselenggarakannya KTT APEC
1993. Ini berarti bahwa Amerika Serikat mau mengultimatumkan Eropa (membuat
tandingan). Hal ini disebabkan Eropa tidak memberikan persetujuan atas GATT
(liberalisasi perdagangan dunia; penghapusan dan penurunan tarif produk
manufakturing) yang sebagian besar terbentur bagi kepentingan Amerika Serikat.
Jika hal ini akan terjadi, dimana tidak akan melahirkan kompromi antara
konglomerat dunia (Amerika Serikat dan Eropa) sebagaimana yang telah disinggung
di atas, maka dunia ini akan terbagi ke dalam blok-blok ekonomi: European Union,
North American' Free Trade Agreement (NAFTA) dan Asia-Pacific Economic
Cooperation (APEC). Dengan APEC, otomatis NAFTA (22,1%) bergabung dengan Asia
Timur EAEC (22,6%) akan menguasai hampir 50% perdagangan global; sedangkan
©2003 Digitized by USU digital library 3
Uni Eropa hanya mampu maksimal mencapai 27% jika hal ini ditambah dengan EFTA
(Swedia, Swiss, Austria, Norwegia dan Finlandia).
Dengan memusatkan perhatian kita pada konsep integrasi sebagaimana
sebagiannya diusahakan diberikan penjelasan dengan cara menganalisis saling
ketergantungan (interpedensi) dalam aspek ekonomi-politik dan ini dikaitankan
dengan kecendrungan dari negara-negara untuk mengelompokan diri kedalam pola
regional. Pola regionalisme didasarkan pada pengelompokan pada kekuatan ekonomi
(perdagangan) dan pada gilirannya akan terbentuk didalam perlembagaan
regionalisme. Kajian ini telah menjadi bagian dari studi politik dan hubungan
internasional. Analisis yang dikembangkan oleh studi hubungan internasional
terutama dalam kajian integrasi regionalisme yakni dengan semakin maraknya
pengelompokan kekuatan berdasarkan aspek ekonomi dan politik menjadikan
semakin bertambahnya pula informasi teori-teori dalam kaitannya dengan fenomena
itu. Analisis dengan merujuk kepada teori ini memperlihatkan bahwa pembuatan
kebijakan (decision making) signifikan dengan "issue area". Dengan munculnya
istilah ini dijadikan sebagai instrumen analisis (analysis tools). Di sini dicoba untuk
memperlihatkan beberapa aspek yang terdapat dalam negara-negara sebagai faktor
yang berpengaruh terhadap bentukan (format) integrasi regional tadi.
Integrasi yang terjadi di kawasan Eropa, dijadikan sebagai suatu "issue area"
berupa "baja dan besi" yang terdapat dalam negara-negara Benelux (Belgia,
Nederland dan Luxembrug). Maka bagi seorang analis yang perlu diperhatikan
adalah "progress in policy integration" yang dihadapkan dengan perbedaan atas
issue-area" tadi. Misalnya dalam suatu negara bahwa isue areanya mungkin sektor
pertanian dan yang mungkin sektor industri atau transportasi. Dari dua sektor inilah
yang dijadikan sebagai "leading sector" bagi kebijakan politik luar negerinya. Negara
yang satu melihat bahwa sektor (X) menjadi kepentingan utama dan bagi negara
yang lain melihat sektor (Y) menjadi kepentingan pokok.
Maka dengan demikian, analisis tentang isuue area tadi bagi studi
regionalisme dalam wacana politik dan hubungan internasional semakin dekat atau
dengan kata lain diajukan konsep "linkage of issue" dijadikan konsepsi untuk
menjelaskan bagaimana integrasi regional berproses menuju integrasi.
No comments:
Post a Comment