Monday 3 January 2011

Pertentangan Sosial dan Integrasi Sosial

Konflik Di Masyarakat Majemuk

Muzaik keanekaragaman suku (etnik) yang menghias persada Nusantara terasa begitu indah dan mempesona di tangan para komponis dan penyair. Mereka menuangkan fenomena itu dalam untai syair lagu dan puisi. Menyadarkan kita betapa besar keajaiban kebhinekaan ibu pertiwi yang membentang beribu-ribu kilometer memeluk bumi. Namun demikian, bagi para pengelola Negara (birokrat) hasrat untuk menghadirkan fenomena indahnya kebhinekaan itu ke dalam realita kehidupan masyarakat bukanlah perkara mudah. Berbagai langkahnya selalu dibayangi oleh kekhawatiran, yang bersumber dari sebuah aksioma manajemen (pemerintahan). Bahwa semakin tinggi tingkat keanekaragaman dan kemajemukan masyarakat dalam sebuah Negara, ekuivalen dengan tingkat kualitas kesulitan yang bakal dihadapi untuk melakukan pengelolaan administrasi Negara secara efektif dan efisien.

Kehadiran bentuk-bentuk masyarakat majemuk dalam sebuah Negara kesatuan – untuk Indonesia terlepas dari peran aspek historisnya – secara relatif terintegrasi dan tumbuh di atas sejauh mana paksaan (dominasi Negara) dan adanya saling ketergantungan dalam bidang ekonomi. Dalam realitas selanjutnya diikuti oleh adanya dominasi suatu kelompok (suku, agama atau kekuatan politik) terhadap kelompok yang lain.


Perbedaan
Secara umum, dari waktu ke waktu konsep masyarakat majemuk berkembang sejalan dengan kondisi obyektif, yakni dinamika kehidupan manusia. Kompleksitas masyarakat majemuk tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan “horizontal” (suku, ras, bahasa, adat-istiadat, agama, dan daerah), tetapi juga perbedaan “vertical”, yakni capaian yang diperoleh melalui achievement (Pelly, 1993). Indikasi perbedaan tersebut Nampak dalam tingkat sosial ekonomi, kedudukan politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi pemukiman.


Perbedaan horizontal diterima sebagai warisan (ascribed) yang diketahui kemudian “bukan” sebagai factor utama dalam setiap insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku. Misalnya suku X, bukan dilahirkan semata-mata untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran (agama dan kepercayaan di Indonesia) yang secara absolut mengajarkan atau menanamkan permusuhan terhadap etnik (sku) dan agama lain.


Sementara itu, dari perbedan-perbedaan vertical, terdapat beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik. Antara lain perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan akses ekonomi lainnya. Selain itu juga benturan kepentingan kekuasaan, politik, dan perluasan batas-batas identitas sosial budaya dalam kelompok etnik (suku) tertentu (Horowitz, 1997). Semakin tinggi kedudukan politik dan peran dominatif suatu kelompok etnik (suku) terhadap kelompok etnik lainnya, akan semakin kuat menimbulkan prasangka yang menjadi sumber ketegangan dan konflik antarkelompok etnik.
Paling tidak itu terbukti dalam kasus “Ambon 1”. Seperti diungkapkan oleh Parsudi Suparlan (199), konflik Ambon 1 muncul karena adanya pergeseran kebudayaan dominan dari Ambon Kristen menjadi kebudayaan islam yang dibawa para pendatang. Menurut Parsudi, dalam waktu sekian tahun, para pendatang Bugis, Buton, dan Makasar mengambil alih berbagai pekerjaan dan jabatan melalui hubungan-hubungan kerabat, kesukubangsaan dan keagamaan. Tempat umum yang semula adalah tempat beroperasinya kebudayaan Ambon yang Kristen, kini menjadi tempat beroperasinya kebudayaan islam yang Bugis, Buton, dan Makasar. Berbagai patokan aturan main di tempat-tempat umum Kota Ambon telah berubah.


Pemecahan Masalah
Jadi, untuk mengatasi masalah konflik sosial dalam masyarakat majemuk (seperti di Indonesia), jangan terpaku hanya pada perbedaan-perbedaan horizontal yang ada. Artinya dalam menghindari atau meminimalisir kemungkinan konflik hanya dengan mengatasi masalah perbedaan aspek-aspek sosial budayanya. Seperti dengan penyatuan kelompok-kelompok sosial yang berbeda, dengan mengangkat pernik-pernik budaya daerah menjadi identitas nasional. Atau dengan doktrin, penataran untuk menanamkan norma-norma bersama yang mengatur tentang tingkag laku bagaimana menjadi warga Negara Indonesia yang baik.


Tapi menaruh perhatian yang lebih pada pemecahan masalah-masalah persaingan dalam memperebutkan sumber daya, alat-alat produksi dan akses ekonomi-poitik. Sebab berdasarkan catatan sejarah, konflik sosial dalam masyarakat Indonesia tidak sedikit akibat persaingan memperebutkan hegemoni. Misalnya antara Sunda (Kerajaan Padjadjaran) dan Jawa (Kerajaan Majapahit) yang pernah terlibat peperangan besar di desa Bubat, atau antara Makasar (Kerajaan Gowa) dengan Bugis (Kerajaan Bone).


Permusuhan atau konflik akibat memperebutkan hegemoni tersebut terjadi pula di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Bahkan konflik juga terjadi dalam satu suku bangsa, seperti dialami orang Jawa, yang terlibat perang saudara selama periode 1680-1743 antara masyarakat pedalaman dengan masyarakat pesisir pantai utara Jawa (Luc Nategal, 1966). Hal serupa terjadi di Maluku, yakni antara kerajaan Ternate dan Tidore. Di awal abad 21 konflik itu kembali mencuat dan mewarnai konflik Ambon II.


Jadi berdasarkan catatan sejarah, sumber konflik sosial antara berbagai etnik (suku) atau golongan di Indonesia bukan didominasi oleh perbedaan horizontal. Tapi yang lebih menonjol justru disebabkan oleh factor perbedaan-perbedaan vertical. Karena interaksi dalam perbedaan vertical antaretnik (suku) dan golongan lebih berdimensi kalah-menang, bermuara pada munculnya kekuatan yang mendominasi dan yang didomimasi. Kemudian terjadi ketidakseimbangan, prasangka, ketegangan, dan konflik. Dan konflik sosial ini menjadi sangat “membara” tatkala disirami dengan “isu agama” oleh elite politik (baca: provokator).

Integrasi Nasional

Masyarakat Eropa (EC) dengan dibukus oleh lebel proses intergrasinya itu,

menepatkan posisi negara anggotanya sebagai pusat integrasi ekonomi dan politik

yang diarahkan menuju cita-cita Uni Eropa (EU). Hal ini memberikan suatu indekasi

kepada kita bahwa jalan pikiran seperti ini memberikan kesan bahwa gerakan dan

mekanisme pengelompokan regionalisme seperti ini dianggap sebagai suatu ambisi

masyarkat Eropa untuk meningkatkan ambisi regionalisme di benua Eropa yakni

dengan usaha untuk menarik usaha kembali sejarah masa silam bahwa pusat

pertumbuhan dan perkembangan Internasiinal berada di Eropa.

Munculnya satu lagi pengelompokan kekuatan ekonomi regional seperti APEC

(Asia Pacific Economic Cooperation) yang di bentuk awalnya di Australia tahun 1989,

merupakan terobosan baru di kawasan Asia Pasifik di samping' EFTA di kawasan

Eropa. Ini juga dilihat sebagai suatu pengelompokan didasarkan atas kerjasama

ekonomi regional dan pada gilirannya akan merebak menjadi suatu kerjasama

ekonomi internasional.

Tentunya perkembangan kehadiran kerjasama bidang ekonomi yang bersifat

regional/internasional akan memberikan dampak terhadap tata hubungan

internasional serta tata hubungan ekonomi global umumnya. Dampak/implikasi di

dalam tatanan hubungan ekonomi yang diartikan adalah jika diterjemahkan bahwa

kehadiran kelompok-kelompok kekuatan ekonomi baik itu dalam tataran regional

maupun yang internasional, misalnya APEC, adalah merupakan puncak diplomasi dan

konflik yang sudah mengarah kepada perang dagang antara blok-blok dagang

terbesar (Amerika), Eropa Bersatu (Uni Eropa).

Jika persoalan ini dilihat ke dalam persfektif yang lebih luas, maka dapatlah

dikatakan ini semacam percaturan bisnis-politik pada level atas yang dilakukan di

atas tataran GATT (putaran Uruguay) yang terancam menemui jalan buntu yang

memang diperlukan suatu manuver-manuver politik, sebagaimana yang ditunjukkan

oleh Bill Clinton dan dengan mana pihak Amerika Serikat membentuk NAFTA yang

mendapat voting dari Kongres 1992, disubstitusikan diselenggarakannya KTT APEC

1993. Ini berarti bahwa Amerika Serikat mau mengultimatumkan Eropa (membuat

tandingan). Hal ini disebabkan Eropa tidak memberikan persetujuan atas GATT

(liberalisasi perdagangan dunia; penghapusan dan penurunan tarif produk

manufakturing) yang sebagian besar terbentur bagi kepentingan Amerika Serikat.

Jika hal ini akan terjadi, dimana tidak akan melahirkan kompromi antara

konglomerat dunia (Amerika Serikat dan Eropa) sebagaimana yang telah disinggung

di atas, maka dunia ini akan terbagi ke dalam blok-blok ekonomi: European Union,

North American' Free Trade Agreement (NAFTA) dan Asia-Pacific Economic

Cooperation (APEC). Dengan APEC, otomatis NAFTA (22,1%) bergabung dengan Asia

Timur EAEC (22,6%) akan menguasai hampir 50% perdagangan global; sedangkan

©2003 Digitized by USU digital library 3

Uni Eropa hanya mampu maksimal mencapai 27% jika hal ini ditambah dengan EFTA

(Swedia, Swiss, Austria, Norwegia dan Finlandia).

Dengan memusatkan perhatian kita pada konsep integrasi sebagaimana

sebagiannya diusahakan diberikan penjelasan dengan cara menganalisis saling

ketergantungan (interpedensi) dalam aspek ekonomi-politik dan ini dikaitankan

dengan kecendrungan dari negara-negara untuk mengelompokan diri kedalam pola

regional. Pola regionalisme didasarkan pada pengelompokan pada kekuatan ekonomi

(perdagangan) dan pada gilirannya akan terbentuk didalam perlembagaan

regionalisme. Kajian ini telah menjadi bagian dari studi politik dan hubungan

internasional. Analisis yang dikembangkan oleh studi hubungan internasional

terutama dalam kajian integrasi regionalisme yakni dengan semakin maraknya

pengelompokan kekuatan berdasarkan aspek ekonomi dan politik menjadikan

semakin bertambahnya pula informasi teori-teori dalam kaitannya dengan fenomena

itu. Analisis dengan merujuk kepada teori ini memperlihatkan bahwa pembuatan

kebijakan (decision making) signifikan dengan "issue area". Dengan munculnya

istilah ini dijadikan sebagai instrumen analisis (analysis tools). Di sini dicoba untuk

memperlihatkan beberapa aspek yang terdapat dalam negara-negara sebagai faktor

yang berpengaruh terhadap bentukan (format) integrasi regional tadi.

Integrasi yang terjadi di kawasan Eropa, dijadikan sebagai suatu "issue area"

berupa "baja dan besi" yang terdapat dalam negara-negara Benelux (Belgia,

Nederland dan Luxembrug). Maka bagi seorang analis yang perlu diperhatikan

adalah "progress in policy integration" yang dihadapkan dengan perbedaan atas

issue-area" tadi. Misalnya dalam suatu negara bahwa isue areanya mungkin sektor

pertanian dan yang mungkin sektor industri atau transportasi. Dari dua sektor inilah

yang dijadikan sebagai "leading sector" bagi kebijakan politik luar negerinya. Negara

yang satu melihat bahwa sektor (X) menjadi kepentingan utama dan bagi negara

yang lain melihat sektor (Y) menjadi kepentingan pokok.

Maka dengan demikian, analisis tentang isuue area tadi bagi studi

regionalisme dalam wacana politik dan hubungan internasional semakin dekat atau

dengan kata lain diajukan konsep "linkage of issue" dijadikan konsepsi untuk

menjelaskan bagaimana integrasi regional berproses menuju integrasi.

No comments:

Post a Comment